Ariz Merokok dan Merasa Lebih Hina Ketimbang Seonggok Tahi Babi yang Bisa Diolah Menjadi Pupuk

Iya, kamu tak salah baca. Aku merokok. Aku pernah merokok.

Aku sering ditawarkan sebatang oleh orang-orang, tapi selalu kutolak dengan mudah. Yang kali ini murni atas kemauanku sendiri.

Kenalpot mini yang sering dihisap orang

Waktu itu sepulang salat jumat, tak ada angin tak ada hujan, muncul rasa penasaran yang cukup besar pada tembakau. Rasa itu, mulanya, kualihkan dengan berselancar di internet, mencari tahu mengapa orang-orang sebegitu besar cintanya pada miniatur kenalpot ini. Bodohnya, usai membaca, rasa itu justru makin membuncah. Aku makin ingin coba: semakin ingin mencoba untuk membuktikan bahwa benda laknat ini betulan tak ada gunanya.

Di swalayan, di hadapan kasir, “mbak, Sampoerna-nya satu, dan korek,” tanpa banyak basa-basi pintaku. Sudah terbiasa melihat gelagat kawan-kawan saat membeli. Entah kenapa kupilih merek tersebut, asal tunjuk saja. “Loh, sudah, begini doang?” Pantas saja bocah ingusan macam diriku (apalagi waktu itu masih 16 tahun) bisa dengan naifnya merokok. Wong tak ditanyai KTP. Kalau dipikir-pikir, bengis juga rupanya pemerintah ini, hanya memedulikan cuan dari industri ini ketimbang generasi penerusnya.

Kembali ke kamar. Kukunci pintu, meskipun tahu aku seorang diri di rumah, tapi jendela dibuka. Diri ini terduduk di kursi di salah satu sudut kamar, rokok sudah terapit di antara jari telunjuk dan tengah, membentuk huruf ‘v’, masih sambil merenung, “seriusan, nih?” Klik klik krak! Tersulutlah dia. Miniatur kenalpot yang sering orang-orang hisap itu mulai kudekatkan pada bibirku. Kucoba menghayati, seperti yang biasa orang-orang lakukan. Kuhirup dalam-dalam. Kubiarkan asap yang merusak itu mengalir di tenggorokan hingga paru-paru, lalu dihembuskan keluar lagi. “Sudah, begitu saja?” Tak ada yang spesial; tak ada sesuatu yang orang-orang kerap kali sebut ‘melegakan.’

Aneh. Aku coba beri dia kesempatan, mungkin sehisap lagi. Namun, Aku bentul-betul tak temukan apapun selain pahit yang tak ada maknanya. Ide-ide kreatif nan inspiratif juga tak kunjung muncul, padahal merokok sering kali jadi alasan mereka buat cari inspirasi. Justru uang terbakar jadi abu, mana kamar bau karbon pula. Peringkat pertama pembawa inspirasi masih merenung di toilet sambil berak.

Di titik itu aku bersyukur. Bersyukur sebab aku berhasil buktikan omonganku sendiri; sebab aku berhasil tak temukan di bagian mana kesenangan merokok. Jikalau seluruh asap itu bisa dihisap seluruhnya sendirian, pasti akan lebih baik sebab diriku sendiri doang yang hancur dan mati lebih cepat. Namun, jikalau hingga buat anakku sulit seumur hidup dengan asmanya, rasanya hidupku lebih hina dari seonggok tahi babi yang masih bisa diolah jadi pupuk. Ayolah, bung. Sesekali cobalah berpikir lebih jauh daripada tentang dirimu sendiri. Toh kalau butuh sesuatu untuk diemut, masih akan selalu ada pena-pena, permen, atau eskrim yang siap bertugas.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.