Ayah!

“Ayah!” Jeritan perempuan kecil menusuk gendang telinga, menggema dalam ruangan gigantik ini.

“Ayah!” Aku mengernyit. Diamlah sekejap, nak. Ayah sedang fokus salat. Loh, sebentar, sejak kapan diri ini dikaruniai anak dalam usiaku yang baru delapan belas tahun? Seingatku, aku tak pernah berani menyentuh wanita.

Untuk yang ketiga kalinya, “AYAH!!!” Aku tak sanggup. Sedikit, tapi ada, air berlarian keluar dari mata dengan penuh semangat layaknya perempuan itu yang hilir-mudik ujung kanan dan kiri masjid.

Kala itu matahari berdiri tepat di atas kepala, panas memanggang. Di atas karpet merah kami bersaf-saf tertunduk seraya memohon ampunan pada Tuhan. Aku di deret terdepan, sementara bapak-Nya yang betulan—mungkin, aku cukup yakin—berada di sekitar tiga deret ke belakang.

Meski dalam salat, aku, yang seharusnya bisa sedikit lebih fokus pada lantunan doa, malah membayangkan diri ini sedang dipanggil-panggil oleh anakku sendiri. Entahlah, mungkin hanya aku saja yang sedang emosional sebab satu dan lain hal. Namun, saat kata “Ayah” berenang di udara dengan begitu jernih, imut, dan tanpa ragu, ada sesuatu dalam diriku yang seakan terpanggil.

Anak perempuan, konon katanya, paling dekat dengan sang ayah. Dengan getaran yang begitu besar dalam hati ini kala mendengar lengkingan bocah itu, aku bisa pastikan bahwa itu memang kebenaran.

Maafkan aku, ya, nak. Ayahmu belum bisa jadi orang tua yang baik. Meskipun kau masih berada jauh di atas sana, kuharap kau bisa nikmati surga dengan betul-betul, atau mungkin tidur dalam tanah yang gelap dengan lelap, sebelum akhirnya nanti kau harus berjuang juga dalam dunia ini. Aku mau belajar, mempersiapkan diri ini dengan sebaik sebagaimana sebaiknya. Aku bersumpah, akan berusaha untukmu seorang, agar semoga nanti kau bisa bangga dan bersyukur pada Tuhan telah menjadi darah dagingku. Jika suatu saat kau benar-benar hadir ke dunia ini, semoga di kala aku sudah sedikit lebih siap—serta nantinya aku bukan hanya jadi pemberi uang atau sandang, tapi juga kasih sayang dan ruang untuk kamu menangis di pangkuan. Terima kasih, nak, sudah repot-repot mampir dan ingatkan aku hari ini.


Comments

One response to “Ayah!”

  1. ariz, i’m sure you’ll be a great father someday. semoga kelak kamu, sang “ayah” bisa dikaruniai keluarga kecil yang harmonis dan penuh kasih sayang seperti yang kamu idamkan yaa. aku suka sekali baca tulisan kamu! tulisan ini tulisan favoritku btw ^___^ sehat dan panjang umur yaa ariz. i truly adore you as a human being

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.