“Pokoknya, demi CV yang panjang nan sedap dipandang, aku rela berjuang!”
Kurang lebih, demikian hasil nyata cekokan abang-kakak tingkat pada maba yang masih tak tau arah. Dengan mata yang berbinar, maba imut ini merangsek laman registrasi rekrutmen organisasi dan kepanitiaan―semuanya dibabat. Terkesan tak ada yang salah, bukan? Seakan-akan kita memang diciptakan untuk itu: pro-duk-tif.
Kita semua paham betul, dewasa ini, sistem memang mendidik kita buat mendefinisikan bahwa nilai seorang manusia hanya ditentukan dari daftar panjang kegiatan dan circle yang berhasil ditembus. Kita cuma jadi mesin pencapaian yang terpajang di rak toko, kemudian berharap dipilih oleh korporasi dan dibawa pulang. Begitu, kan, pErSonAl BraNdiNg yang kau maksud?

Waktu senantiasa terbatas, tapi kegitan kian ditambah. Saking sibuknya, kita punya rapat dengan dua organisasi, kali ini dalam satu waktu. Pusing sudah. Sebelah telinga mendengarkan yang dekat; sebelah yang lain disumbat earphone: mendengarkan yang jauh. Apa hasilnya? Nihil keduanya: informasi tak terserap seutuhnya; kontribusi setengah-setengah akhirnya. Layaknya simbol disjungsi eksklusif di mata kuliah Matematika Berpikir Logis, pilihlah salah satu, atau tidak keduanya.

Bagiku, cukup. Enough is enough. Sadari bahwa semua itu cuma bonus, tak lebih, dari keikhlasan dan ketulusan kita buat belajar. Bukan lagi soal apa yang bisa organisasi ini berikan untuk CV-ku, tapi tentang apa yang bisa aku berikan pada organisasi ini dan senantiasa belajar di situ.
Sepertinya, aku harus lebih sering begini: lakukan sesuatu yang.. ‘positif’, tapi tak diunggah sama sekali, di medsos manapun itu―cukup hanya Tuhan dan aku yang tahu. Apakah rela jiwa ini, ataukah gelisah dan gerah? Sehaus itu untuk seteguk validasi orang lain, bukan, kawan?
Leave a Reply