Kau berharap apa? Anak tengil begini diminta ganti baju kebanggaannya? Ogah. Ini lagi di tanah suci, ketika aku dilarang oleh pendamping kami, sebut saja bang Fariz, lewat pesan WhatsApp, untuk tidak pakai baju itu di sini. Makin dilarang, oh, tentu, semakin penasaran—biasalah, darah muda.

Jarum jam tanganku menunjuk angka delapan, sementara jarum lainnya yang lebih panjang menunjuk angka enam, dan sekarang tak nampak cahaya matahari. Kami berempat hendak berbelanja di mal Clock Tower, lokasinya persis seberang bangunan keramat itu, Masjidilharam. Aku berjalan memasuki pintu otomatis sambil kebingungan mengapa di negeri para utusan Tuhan ini, yang seharusnya terpaut hatinya pada Palestina (memang jelas tertera di ajarannya), justru malah tutup mata dan telinga.
Awalnya kucoba turuti. Pakai gamis. Untungnya kubawa dalam tas selempang. Lepas beberapa menit, Aku tak kuat: Aku tak mau ikut menutup mata.
Kulepas gamis biru itu dengan semringah. Terpampang lah tulisan bercetak putih besar bertuliskan falastin dalam bahasa arab di dadaku. Awalnya ragu, tapi siapa yang peduli? Ayo tangkap aku. Aku memisahkan diri dari rombongan. Biar tidak menyusahkan kalau memang tertangkap betulan, pikirku.
Dengan bangga aku berjalan; menaiki eskalator, mencoba ‘tuk gagah. Dilihat semua pengunjung mal itu. “Orang gila,” kata mereka, mungkin, dalam hati—mata mereka seakan bicara demikian. Di tiap langkah, jantungku kian berdebar lebih keras. Lewati beberapa penjaga, dilirik lebih lama, ternyata masih aman. Oi, ayo tangkap aku!
Layaknya kapal Madleen yang ditunggangi para aktivis—yang mana kita semua tahu tujuan utama mereka bukanlah untuk mengirimkan bantuan, melainkan membuka mata dunia terhadap krisis yang berada right before our eyes—Aku juga ingin melakukan hal yang sama seperti mereka. Ayo tangkap aku! Agar seluruh dunia tahu bahwa apa yang terjadi di Palestina sana bukanlah masalah biasa; bahwa genosida di sana bukanlah persoalan politik belaka; bahwa sejatinya yang terpenjara bukanlah orang-orang Gaza, melainkan pikiran kita sendiri.
Dalam cerita ini, sayangnya, Aku tak ditangkap polisi. Sepulangnya di hotel, bang Fariz buka suara bahwa Ia seorang lah yang pernah dipersekusi sebab pakai baju Palestina.
Liberation of mind before liberation of land
Leave a Reply